Si bapak tersenyum polos bahagia dan puas, melihat pertumbuhan anak-anaknya yang begitu sempurna. Baginya. Tanpa cacat, tanpa cela. Ia hanya ingin anak-anaknya jadi orang yang berhasil, katanya. Bagaimana caranya, ia takkan pernah (mau) tahu.
Si ibu, meraung-raung menunjukkan ketidakwarasan yang bisa (kadang) dimiliki oleh seorang manusia. Kadang terlihat si ibu ingin sekali menjamah dan memeluk putra-putrinya, namun keegoisan dan keinginannya yang kuat untuk mengambil peran kehidupan putra-putrinya lah yang lebih menang. Sorot matanya jelas menatap kamera (meski tidak fokus), dengan senyum yang begitu dipaksakan, serta terlihat jelas sang posesif berlenggang penuh kekuasaan di dalam sorot mata itu.
Si anak lelaki, tetap melihat ke arah kamera, sorotan matanya terfokus, meski hanya sesekali melihat keadaan keluarganya yang lain. Ia hanya ingin dirinyalah yang paling terlihat bagus bila hasil fotonya sudah dicetak. Kalau perlu, ia akan berusaha sebaik mungkin agar posisinya tidak bergerak, dan bahkan tidak akan dibiarkannya posisi terbaiknya itu diutak-atik oleh siapapun, termasuk anggota keluarganya sendiri.
Si anak perempuan, terduduk diam agak ke pojok, memberi jarak dengan anggota keluarga yang lain, tersenyum lemah dan dingin penuh rahasia, dengan sorot mata yang begitu hampa dan lelah akan beban keseluruhan anggota keluarga yang harus ditanggungnya, sambil takut-takut mencoba fokus melihat ke kamera. Sungguh tidak mudah, karena pikirannya sedang tidak di tempat. Pikirannya sendiri yang membuat munculnya sebuah kepribadian lain yang (kadang) timbul akibat terlalu banyak tekanan.
Sungguh potret keluarga yang menarik.
5 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar