15 Mei 2008

From Batavia With Love

....tanpa sadar Tara menghela napas panjang.
Kisah tentang cinta yang tak dapat bersatu selalu membuatnya sedih. Mengapa Tuhan mengizinkan dua anak manusia untuk saling mencintai jika pada akhirnya hanya akan memisahkan mereka? Mengapa cinta bisa menghadirkan begitu banyak kebahagiaan bagi seseorang, sebanyak cinta bisa juga menghadirkan kesedihan bagi orang yang sama? Lalu apakah sebenarnya wajah dari cinta itu sendiri? Kebahagiaan kah? Atau kesedihan?
*****
Ia hanya ingin rasa sakit yang terus menyayat hatinya ini tersembuhkan. Ia hanya ingin rasa pahit yang terus mencekat tenggorokannya ini terhapuskan. Hanya saja ia tak tahu bagaimana melakukannya.
Bagaimana mungkin seorang pria bisa begitu mudah tertipu? Bagaimana mungkin seorang pria bisa begitu mudah memercayai bahwa cintanya telah mengkhianati? Bagaimana mungkin seorang pria bisa begitu mudah memercayai kekasihnya telah menikahi yang lain padahal justru pria itulah yang telah mengkhianati kekasihnya terlebih dahulu?
Hanya pria bodoh yang dapat berperilaku seperti itu.
Dan pria bodoh itu adalah dirinya.
*****
Apa sebenarnya yang diinginkan Tuhan darinya? Tuhan telah membuatnya lahir sebagai anak terbuang tanpa tahu asal usulnya, lalu membuatnya harus berjuang menjalani hidupnya. Tuhan juga telah membuatnya bisa berinteraksi dengan jiwa seseorang yang telah meninggal begitu lama, dan kini lihatlah apa yang dilakukan Tuhan padanya. Tepat saat ia mulai merasa bahagia dengan kehadiran Pieter yang telah membuat kesepiannya menguap, Tuhan justru akan mengambil Pieter darinya untuk selamanya? Adilkah itu?
*****
"Kebahagiaan bukanlah tujuan yang harus kita datangi, Tara, melainkan sebuah perjalanan yang harus kita tempuh di dalam hidup ini. Kalau kamu mengira bahwa kebahagiaan sejati baru bisa kamu raih setelah kamu sampai pada titik itu, kamu salah. Kamu tidak akan pernah mencapai titik itu, tidak seorang pun yang bisa mencapainya karena hidup ini memang sebuah perjalanan. Mungkin kamu mengira kamu telah mencapai titik itu, namun percayalah perasaan itu hanya akan bertahan sebentar saja. Nantinya pasti akan muncul titik-titik lain yang ingin kamu capai. Itu sebabnya jangan pernah mengkondisikan kebahagiaan."
"Mengkondisikan kebahagiaan??"
"Betul. Jangan pernah berkata bahwa kamu baru bisa bahagia jika kamu seperti ini, atau jika kamu seperti itu. Jangan pernah memberikan syarat untuk bisa mendapatkan kebahagiaan, karena kebahagiaan adalah sebuah esensi yang hanya bisa ditentukan oleh diri kita sendiri. Kalau kamu mengira kebahagiaan itu baru bisa kamu dapatkan setelah memperoleh sesuatu atau memiliki seseorang, maka kamu selamanya akan terbelenggu dalam pencarian dari arti kebahagiaan itu. Selamanya, kamu akan terus merasa dirimu tak cukup bahagia."
*****
Kini cahaya kebiruan itu meredup perlahan. Tara membisu dalam seribu rasa yang memenuhi seluruh jiwanya. Selama dua bulan ini ia bagai hidup dalam sebuah rentetan khayalan. Bahkan sampai detik ini pun ia masih sulit untuk dapat sepenuhnya mempercayai apa yang telah terjadi pada dirinya. Semua bagai mimpi. Berinteraksi dengan jiwa seseorang yang telah tiada, jelas bukan sesuatu yang pernah dibayangkannya sebelumnya. Begitu pun saat ini, ketika dilihatnya sinar kebiruan itu mulai meredup perlahan di hadapannya, seakan terbiaskan sinar matahari yang tiba-tiba saja dapat menerobos masuk di celah-celah kerimbunan dedaunan yang melebat di atas sana.
"Selamat jalan, Pieter," bisik Tara.
Tara melangkahkan kedua kakinya meninggalkan tanah perkuburan kecil itu.
Di ujung batas tanah perkuburan itu, ia tertegun sejenak. Langkahnya terhenti. Hening. Hanya keheningan yang hadir di sekelilingnya. Bahkan sedikit pun tak terdengar gemerisik dedaunan walau hanya sekilas saja. Tiba-tiba di bibir Tara tersungging sebuah senyum kecil. Ia baru saja mendengar bisikan Pieter dan Yasmin yang mengatakan bahwa ia akan mendapatkan sebuah hadiah yang akan membuat rasa sepi di dalam hatinya terhapus untuk selamanya. Entah mengapa, ia percaya janji itu.
"Terima kasih," bisik Tara sambil kembali melangkah pergi.
*****
"Akankah kamu melakukannya lagi jika suatu saat nanti kamu harus mencariku karena kita terpisah jauh? Mencariku hingga denyut napasmu yang terakhir?"
"Mengapa berkata demikian?"
Yasmin terdiam. "Hanya perumpamaan."
"Jika demikian, janganlah memberikan perumpamaan yang menyedihkan. Tidakkah kamu yakin bahwa masa depan kita akan bahagia nantinya?"
"Aku hanya takut jika semua ini tidak lebih dari impian belaka."
"Masa depan mungkin hanya sebuah impian dari hari ini. Namun sepanjang apapun hari ini, ia pasti akan berlalu dan berganti menjadi hari esok. Demikian juga dengan mimpi. Sesulit apa pun kita meraihnya, jika berusaha pasti akan berhasil pada akhirnya. Kamu harus percaya itu."
"Aku percaya, kamu akan berusaha mendapatkanku kembali jika suatu saat nanti nasib membuatku terpisah jauh darimu. Bisakah aku mempercayai ini, Pieter?"
"Hingga denyut napasku yang terakhir," angguk Pieter yakin.
Saat itu cinta yang membelenggu hatinya teramat kuat, mengingatkannya akan syair-syair indah yang pernah digoreskan seorang pujangga Inggris dalam salah satu karya sonetanya yang terkenal.
"..I love thee freely, as men strive for Right;
I love thee purely, as they turn from Praise.
I love thee with the passion put to use in my old griefs,
and with my childhood's faith.
I love thee with a love I seemed to lose.
With my lost saints - I love thee with the breath.
Smiles, tears, of all my life! - and, if God choose,
I shall but love thee better after death."
Sonnets from the Portuguesse, bagian XLIII (1850) - Elizabeth Barret Browning
*****
"Aku telah merencanakan semuanya. Kalau aku kembali nanti, aku akan menemui pamanmu untuk memintanya agar mengizinkan kita menikah. Pasti pamanmu akan menolaknya, tapi aku tak akan menyerah begitu saja, tentunya. Aku akan meyakinkan dirinya bahwa aku bersungguh-sungguh dengan niatku itu.
Tak apa jika kita harus menunggu sedikit lebih lama dari yang kita inginkan, tapi percayalah kita berdua pasti akan dapat melakukannya."
"Aku senang mendengar ceritamu, Pieter. Semangatmu...."
Pieter mengerutkan dahinya. "Lalu apa yang membuatmu masih meragukannya?"
Yasmin membalikkan badan, lalu berdiri perlahan. Ia mendekapkan kedua tangannya di dada dan memandang ke pucuk pohon terjauh di atas sana. Betul, apa yang membuatnya ragu?
"Bisakah ini menghilangkan keraguanmu?" bisik Pieter yang telah berdiri di belakangnya.
Yasmin menoleh dan tertegun. Tangan kirinya diraih oleh Pieter, yang kemudian segera menyematkan sebuah cincin emas di jari manisnya. Ia dapat merasakan hatinya melonjak penuh suka cita seketika. Ada kegembiraan yang tak dapat terlukiskan kata-kata disana, dan hanya ia yang dapat memahaminya.
"Cincin ini diberikan oleh almarhum ibuku ketika aku masih kecil dulu. Sejak saat itu, cincin ini selalu tergantung di kalung yang kukenakan. Kini kuberikan cincin ini padamu sebagai pengganti hatiku. Dan berjanjilah kamu akan menjaganya hingga aku kembali nanti."
Yasmin hanya terdiam. Sebutir air mata jatuh terlepas dari matanya.
"Percayalah, Yasmin, aku pasti akan kembali."
Pieter segera merengkuh Yasmin ke dalam pelukannya. Betapa ia tak mengira sama sekali bahwa hatinya bisa mencintai seorang wanita sedalam ini. Nyatanya cinta memang tidak terlihat dengan mata, melainkan hati. Telah begitu banyak kisah cinta tragis yang dikisahkan para pujangga terkenal dunia selama berabad-abad. Namun, untuk kisah cintanya yang satu ini, ia bersumpah akan membuatkan sebuah akhir bahagia. Semua itu hanya karena ia tahu bahwa Yasmin berhak mendapatkannya. Ia bersumpah akan melakukan apa pun untuk membahagiakan gadis mata kenarinya itu.
"Rebahkanlah kepalamu sejenak di dadaku, Yasmin, maka kamu akan tahu bahwa setiap detak jantung ini hanya milikmu seorang."
"Dan setiap desah napasku adalah milikmu, Pieter," desah Yasmin seraya mebaringkan kepala di dada kekasihnya.
"Marilah berjanji bahwa apa pun yang akan terjadi dengan raga kita ini nantinya, tak akan ada satu pun yang dapat menghalangi cinta kita untuk bersatu kembali pada akhirnya."
"Aku berjanji, Pieter. Aku berjanji...."
Kedua bibir mereka bertemu. Bertaut dalam jerat-jerat yang mengikat hasrat mereka dengan erat. Lalu angin pun ikut berbisik lirih ke seluruh penjuru alam, seakan ingin ikut menyebarkan janji sepasang kekasih yang telah terucap itu, seakan ingin menjadi saksi akan awal sebuah cinta yang akan menjadi sebuah keabadian di alam ini.
*****
"Yasmin!! Aku senang kamu bisa datang akhirnya!!" seru Pieter sekeras mungkin.
"Jaga dirimu baik-baik, Pieter. Aku menunggumu!!"
Kapal semakin menjauh. Seribu satu rasa menyesaki benak Pieter saat mendengar teriakan Yasmin. Ingin rasanya meminta Kapten Van Waert merapatkan kembali kapal ke dermaga dan menunda keberangkatan mereka supaya ia bisa turun sejenak dan memeluk erat kekasihnya itu untuk terakhir kalinya sebelum berpisah. Ia sama sekali tak mengira bahwa perpisahan mereka yang hanya untuk beberapa bulan itu akan terasa begitu berat baginya.
Pieter tahu bahwa sebentar lagi jaraknya yang bertambah jauh dari dermaga akan menghapus suara-suara mereka. Untuk yang terakhir kalinya, ia pun berteriak dengan suara lantang.
"AKU AKAN SELALU MENCINTAIMU!!!!"
Lambaian sapu tangan itu tampak semakin mengecil. Dermaga itu pun menjadi seperti garis lurus, dan orang-orang yang berkerumun di atasnya hanya bagai kumpulan titik buram. Pieter menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya, perjalanan pulangnya kali ini justru terasa bagai sedang meninggalkan rumah. Mungkinkah itu karena hatinya kini telah tertinggal di tempat lain?
*****
"Apa aku telah membuatmu susah dengan kisah hidupku itu, Tara?"
"Kisah hidupmu?" Tara menatapnya bingung. Bayangan itu mengangguk. Mata birunya masih terlihat sedih seperti pertama kali Tara melihatnya di penjara bawah tanah museum itu. Kira-kira apa yang telah membuatnya sedih? Kenapa di dalam mimpi-mimpi yang dilihatnya, sepasang mata biru itu tampak begitu hidup, begitu bahagia, terlebih ketika sedang bersama kekasihnya? Apakah sesuatu terjadi pada cinta mereka sehingga mata itu kini tampak begitu sedih?
"Sesuatu memang telah terjadi pada cinta kami."
Kembali bayangan itu dapat membaca semua pertanyaan yang melintas di benak Tara.
"Tapi, bagaimana mungkin? Kalian berdua tampak begitu bahagia. Keluarga kalian memang tidak menyetujui hubungan kalian, tetapi bukankah itu tidak menghalangi cinta kalian berdua? Dalam mimpiku yang terakhir, kulihat kalian saling berjanji untuk menunggu. Apa yang telah terjadi setelah kepergianmu ke Den Haag itu? Apakah Yasmin tidak menunggumu? Bukankah kalian akan segera menikah saat kamu kembali ke Batavia?" Rupanya semua rasa takut Tara telah sirna dan berganti dengan rasa penasaran.
"Mereka telah berbohong. Mereka menipuku."
"Mereka? Siapa mereka?"
"Orang-orang yang tak ingin melihat kami bahagia. Keluargaku, mereka semua tidak ingin cinta kami bersatu. Tak lama setelah aku kembali ke Den Haag, mereka dengan sengaja bersekongkol mengarang cerita bohong itu. Mereka mengatakan bahwa Yasmin telah menikah dengan lelaki lain. Untuk kebohongan itu, aku tak pernah bisa memaafkan mereka...."
"Dan kamu mempercayai itu?!"
"Aku percaya karena, sebagai bukti, mereka memberikanku cincin yang pernah kusematkan di jari manis Yasmin ketika kami akan berpisah. Cincin almarhum ibuku. Tak sedikit pun terbersit dalam hatiku bahwa itu hanya tipu muslihat mereka dengan membuat cincin yang sama persis."
"Lalu apa yang terjadi setelah itu?"
"Aku marah besar akan pengkhianatan Yasmin. Tanpa pikir panjang aku menikahi Angelina, yang saat itu kebetulan sedang kembali ke Den Haag. Namun perkawinanku itu bagai neraka. Tak sampai satu setengah tahun kemudian, aku bertemu Frederik. Darinya aku tak sengaja mengetahui sebuah kenyataan pahit. Frederik bersumpah bahwa kurang dari setahun yang lalu ia tak sengaja bertemu Yasmin di Batavia. Gadis itu menanyakan diriku yang tak kunjung datang, padahal aku telah berjanji akan kembali dalam waktu enam bulan. Frederik yang merasa heran mengatakan bahwa aku telah menikah dengan Angelina di Den Haag tak lama setelah kembali kesana. Frederik mengira aku telah memberitahukan Yasmin tentang pernikahanku itu. Ia mengira hubungan kami memang telah berakhir. Itu juga sebabnya ia sangat terkejut saat melihat Yasmin menangis pilu mendengar berita tersebut."
"Kamu pasti merasa bersalah sekali."
"Begitu bersalah sehingga aku merasa bagaikan lelaki paling tak berharga di dunia. Dengan mudahnya aku mempercayai ketidaksetiaan Yasmin, padahal kenyataannya justru akulah yang telah mengkhianati dia. Aku lebih dulu menikahi gadis lain."
"Kamu tidak tahu itu."
"Tapi aku seharusnya tahu itu. Aku seharusnya tahu bahwa Yasmin tidak mungkin mengkhianatiku. Aku seharusnya percaya kepada cintanya."
"Lalu apakah kamu pernah bertemu kembali dengannya setelah itu?"
Bayangan itu menggeleng pelan. Sepasang mata birunya makin menggelap. Ada luka yang begitu dalam di sana, sehingga tanpa sadar Tara menggigit bibirnya, ikut merasakan luka itu.
"Secepatnya aku pergi ke Batavia, namun semuanya telah terlambat. Tak lama setelah mendengar aku telah menikah, paman Yasmin mendesaknya untuk menikah. Pamannya juga telah mengetahui pernikahanku. Yasmin tak punya alasan lain untuk menolak. Ia pun menikah dengan lelaki pilihan keluarganya. Ketika melahirkan putra pertamanya, ia meninggal dunia. Kematiannya itu hanya berselang seminggu sebelum aku tiba di sana. Aku berusaha mencari tahu letak makam Yasmin, namun keluarganya tak mengizinkanku datang ke sana. Mereka merahasiakannya dariku, walau aku terus berusaha mencarinya hingga......"
"Hingga?"
"Hingga akhirnya aku meninggal tak lama kemudian."
Tara dapat merasakan hatinya mendingin mendengar keterangan itu. Ragu-ragu ia bertanya, "Bagaimana kamu meninggal? Apa, apa mereka membunuhmu?"
"Tidak. Mereka tidak perlu melakukannya karena aku telah membunuh diriku sendiri pada hari aku tahu Yasmin telah meninggal. Sejak itu aku kehilangan kendali terhadap diriku, terhadap jiwaku. Aku sering mabuk dan berkelahi dengan pribumi mana pun yang kutemui di jalan. Bagiku mereka semua sama. Semua tampak seperti keluarga Yasmin yang merahasiakan kuburannya dariku. Mereka licik seperti keluargaku. Kelakuan burukku semakin bertambah, hingga suatu malam para pribumi itu murka dan mengejarku habis-habisan dengan berbagai senjata yang mereka miliki. Malam itu aku berlari sekencang mungkin. Begitu kencang hingga aku tak melihat sumur di hadapanku. Selanjutnya semuanya menjadi begitu gelap...."
Tanpa sadar Tara mendekapkan kedua telapak tangannya ke mulutnya.
"....lalu menjadi begitu terang kembali, dan mengambang bagai sebuah mimpi tak berawal dan tak berakhir. Dan inilah diriku sekarang."
*****
"Tapi untuk kamu, Tara, kamu nggak perlu takut. Aku yakin di suatu tempat di muka bumi ini, ada pria baik-baik yang lagi mati-matian mencari kamu. Mungkin juga kalian pernah saling berpapasan satu sama lain hanya saja tidak menyadarinya. Tapi yang pasti, kalau waktu yang tepat sudah tiba, aku yakin kalian bakal ketemu dan kebahagiaan akan jadi milik kalian berdua........."
*****
"Bila aku mencintaimu,
bahkan waktu pun takkan berkuasa 'tuk memupuskannya,
seperti halnya raga yang takkan berdaya 'tuk
memisahkannya.
Karena bila aku mencintaimu,
'kan kubuat para penjaga Surgawi menatap iri pada kesucian
nan abadi dari Cinta tak bersyarat yang kupersembahkan
hanya untukmu Kasih seorang"
*****
Ujung sapu lelaki tua itu kembali bergerak, menyapu jalan setapak itu tanpa lelah.
Daun-daun gugur itu pun kembali berdansa di ujungnya, menggodanya tanpa henti.
Mungkin memang begitulah seharusnya hidup ini. Jangan pernah berputus asa.
Sama halnya seperti lelaki tua dan sapunya itu, yang terus melawan daun-daun kering nakal yang menggodanya.
Sama halnya seperti Pieter dan Yasmin yang rela menunggu seratus tahun demi bersatunya cinta mereka kembali.
Tara kembali tersenyum bahagia. Di dalam hati ia berbisik pelan.
"So, goodbye, Pieter. Goodbye, Yasmin. May peace be with you both now...."
*****
Mbak Karla M. Nashar bener-bener mampu bikin cerita yang tadinya gw pikir cerita hantu apalah gitu jadi cerita yang bikin gw ngerasa touchy banget. Rupanya another love story, kind of Romeo and Juliet in different way. Konfliknya, juga lagi-lagi, nyangkut sama keluarga yang menentang hubungan mereka. So tragic, isn't it? Kenapa sih, mau cinta ama orang aja mesti seribet itu? Banyak larangannya, banyak aturannya. Ya gak selevel lah, ya gak pantes lah. Emang kenapa sih? Emang yang ngejalaninnya siapa? Orang mah boleh-boleh aja ngasi masukan, tapi jangan sampe ngelarang secara brutal gitu dong. Kan kesian kalo harus jadi kaya di Pieter, mesti nunggu 100th buat balik ke perjalanan awalnya setelah dia meninggal cuma gara-gara janjinya belom terpenuhi. Belom lagi di novel ini gw sempet kebawa banget sama perasaan 'Tara' yang bener-bener sebatang kara sebelom dia ngerti arti kehidupan yang sebenernya. Perjuangan hidupnya dia di tengah kejamnya kehidupan bikin salut aja. Udah gitu pas dia lagi klimaksnya ngerasa kesepian karena emang gak punya siapa-siapa, gak tau dia terlahir dari suku apa, gak tau asal-usul dirinya, dan perasaan sedihnya dia seakan-akan dia anak yang terlahir ga sengaja karena sebenarnya ga diharapkan. Berat juga itu mah kayanya kalo gw jadi begitu.. Hehe. Untung aja dia 'ketemu' arwahnya Pieter, yang uda nyemangatin dan terus ngasi nasehat-nasehat yang 'berat'. Tapi kayanya kalo gw jadi Tara, pertama-tama diwujudin si Pieter itu, kayanya gw bakal ngibrit deh. Ato mungkin step mendadak sesaat. Ato nyempet-nyempetin ayat kursi-an sedikit sebelom ambruk. Hahahaha.. Yah, over all, ini novel keren, meski ceritanya menurut gw agak kurang detail. Alurnya maju mundur, tapi bergerak cepet banget. Tapi yang utama, penulisnya yang bisa bangun sebuah kisah percintaan dilatar belakangin sama settingan sejarah kota Jakarta pas masih dikuasain para kompeni Belanda yang najong-najong itu.
Bikin gw jadi penasaran pengen ke Museum Fatahillah...
Bikin gw jadi penasaran sama detail: kaya apa sih Jakarta jaman dulu?
Uda ah.
Sampai jumpa kembali di resensi gw berikutnya. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar